Di masa lalu, guru adalah sumber utama ilmu dan informasi di kelas. Apa yang dikatakan guru cenderung dipercaya tanpa banyak pertanyaan. Namun kini, peran itu perlahan bergeser. slot qris gacor Anak-anak zaman sekarang tumbuh di era digital, di mana informasi bisa diakses dari mana saja—termasuk dari para YouTuber, TikToker, dan selebgram yang mereka ikuti setiap hari. Tidak jarang, pernyataan seorang influencer dianggap lebih relevan atau “masuk akal” dibanding penjelasan guru di kelas.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan yang tidak nyaman namun penting: apakah guru perlu mengadopsi pendekatan ala influencer agar tetap relevan di mata siswa?
Antara Edukasi dan Hiburan
Influencer digital, terutama di platform seperti YouTube dan TikTok, mampu menyampaikan informasi dengan cara yang ringan, visual, dan menarik. Mereka pandai membungkus pesan dengan storytelling, humor, dan gaya personal yang dekat dengan keseharian penontonnya. Di sisi lain, gaya mengajar tradisional cenderung masih bertumpu pada metode ceramah dan buku teks.
Kesenjangan inilah yang membuat konten digital terasa lebih mudah dicerna oleh anak-anak. Bukan berarti guru harus mulai membuat konten viral atau meniru gaya seleb internet sepenuhnya, namun pendekatan komunikasi yang lebih atraktif dan relevan sudah menjadi kebutuhan zaman.
Mengajar Bukan Lagi Sekadar Menyampaikan Materi
Mengajar kini tidak cukup hanya menguasai materi. Guru juga dituntut untuk bisa “menyampaikan” dengan cara yang resonan bagi audiensnya—dalam hal ini, siswa yang hidup dalam dunia penuh visual, suara cepat, dan algoritma. Artinya, guru perlu mengembangkan keterampilan komunikasi yang memadukan edukasi dengan elemen storytelling, visualisasi, bahkan personal branding.
Beberapa guru di berbagai negara telah mencoba hal ini: membuat kanal YouTube edukatif, membuat konten TikTok yang membahas matematika atau sejarah, atau sekadar membuat kuis daring yang dikemas secara interaktif. Bukan untuk menjadi viral, tetapi untuk menjangkau cara belajar siswa secara lebih dekat.
Kepercayaan Dibentuk Lewat Koneksi
Salah satu kekuatan influencer adalah mereka terasa “dekat” dengan penontonnya. Mereka berbicara seperti teman, bukan seperti atasan. Dalam konteks guru, ini berarti membangun koneksi emosional dan psikologis dengan siswa menjadi kunci. Ketika siswa merasa guru memahami dunia mereka—bahkan hanya dengan menyebut game atau tren yang sedang populer—terjadi pembukaan ruang dialog yang lebih sehat.
Guru yang mau terlibat dalam realitas siswa, tanpa harus kehilangan otoritas atau arah pengajaran, akan lebih mudah mendapatkan kepercayaan. Kepercayaan itulah yang menjadi jembatan menuju pemahaman yang lebih dalam terhadap materi pelajaran.
Tantangan Etika dan Batas Profesional
Meski pendekatan ala influencer memiliki kelebihan, ada pula tantangan etika yang perlu diperhatikan. Guru tetap berperan sebagai pendidik, bukan entertainer. Konten yang dibuat harus tetap berbasis pada akurasi, nilai moral, dan kepentingan pendidikan. Batas antara menjadi guru yang menyenangkan dan menjadi figur yang terlalu populer bisa menjadi kabur jika tidak dikelola dengan bijak.
Selain itu, tidak semua guru merasa nyaman atau punya sumber daya untuk membuat konten digital. Maka dari itu, pendekatan influencer ini tidak harus berarti kehadiran di media sosial, tetapi bisa berupa penerapan gaya mengajar yang lebih komunikatif, visual, dan kontekstual di ruang kelas.
Kesimpulan: Antara Relevansi dan Nilai
Perubahan pola kepercayaan anak-anak terhadap figur otoritatif menuntut guru untuk beradaptasi. Bukan dengan menanggalkan identitas sebagai pendidik, tetapi dengan memahami cara baru dalam membangun koneksi dan menyampaikan ilmu. Guru yang mampu mengambil peran sebagai fasilitator yang relevan, komunikatif, dan terbuka terhadap budaya digital, akan lebih mampu menjangkau siswa zaman sekarang. Dalam dunia di mana YouTuber bisa menjadi rujukan utama anak, guru punya peluang untuk tidak sekadar menjadi pengajar, tetapi juga pembentuk perspektif dengan cara yang kontekstual dan bermakna.